Punishment
: Antara Belas Kasihan dan Rasa Tega
Bicara soal pendidikan seperti kita
sedang berada di pinggiran pantai sambil menikmati gemericik air dan gemuruh
ombak. Selalu dan selau datang silih berganti,
tak ada habisnya. Selalu saja ada yang baru, masalah datang silih
berganti seperti tiada habisnya. Dan begitulah hidup jika bergelut dalam dunia
pendidikan.
Punishment |
Kita harus menghadapi siswa dengan
beragam latar dan keturunan, status dan strata sosial. Kita harus bertatap muka
dengan siswa dengan sifatnya yang bisa berubah dalam menjalani hari-harinya.
Kita harus berkreasi dan berinovasi jika tidak ingin dianggap garing dan
membosankan. Dan kita harus bisa bersabar untuk itu semua.
Di sinilah diperlukan koordinasi, saling
mengerti dan memahami antara tenaga pengajar. Tanpa koordinasi akan muncul
miskomunikasi. Jika hal ini terjadi, maka sudah bisa diprediksi wibawa sekolah
dan guru akan tergerus dan digoyah dari san dan sini.
Beruntung kami punya tim yang solid, yang
mau diajak kerjasama dan berkoordinasi. Melalui rapat dan pertemuan yang
diadakan setiap dua pekan sekali. Namun dalam hal memberi punishment, beragam
usulan bermunculan, mengingat banyak sekali pelanggaran yang siswa lakukan.
“Kalau boleh jujur saya bukanlah tipe
guru yang bisa garang, yang bisa memberi hukuman tanpa menunjukkan rasa belas
kasihan,” ujarku suatu hari pada teman.
“Sebenarnya saya juga gak pengen merek
diberi hukuman macam-macam. Tapi melihat pelanggaran dan tingkat kedisiplinan
anak-anak. Yah nggak ada pilihan. Harus jadi Super Seia lagi,” ujar kawanku Pak
Azis.
Dia cerita jika hampir seminggu ini,
diam. Tidak terlalu ngotot melarang dan meyuruh anak, menegur dan sebagainya.
Sambil menunggu kesadaran anak-anak. Tapi ternyata mereka semakin dibiarkan
semakin menjadi-jadi.
Sebut saja Dori, siswa kelas 9 yang
sering melakukan pelanggaran dengan bersembunyi di kolong saat waktunya
sembahyang. “Menghilang” saat seharusnya upacara, tidak masuk kegiatan tahfizh
dan KBM dan banyak pelanggaran lain. Sempat diskors dua minggu dengan tidak diizinkan
mengikuti kegiatan belajar. Eh masih juga belum jera. Malam itu di sanksi
dengan lari keliling 20x . hasilnya
Nggak ada jeranya juga.
Itu belum siswa lainnya, Baron, Vicky dan
beberapa lagi.
Dan lagi-lagi aku harus belajar untuk
mampu menempatkan diri. Kapan harus tegas, keras dan kapan harus lembut.
Belajar dari firman Allah di saat Dia
memberikan hukuman.
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä.
7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB
sps($ÏB
;ot$ù#y_
( wur
/ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u
Îû ÈûïÏ «!$#
bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
( ôpkô¶uø9ur
$yJåku5#xtã
×pxÿͬ!$sÛ
z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Jika belas kasihan
yang dikedepankan, maka orang-orang yang melakukan kesalahan akan mejadi
kegirangan.
Maka menjadi
sewajarnya itu amat diperlukan. Tegas, keras dan lembut.
Sukabumi,
20 Oktober 2016
0 komentar:
Posting Komentar