Jumat, 21 Oktober 2016

Punishment : Antara Belas Kasihan dan Rasa Tega

Punishment : Antara Belas Kasihan dan Rasa Tega

Bicara soal pendidikan seperti kita sedang berada di pinggiran pantai sambil menikmati gemericik air dan gemuruh ombak. Selalu dan selau datang silih berganti,  tak ada habisnya. Selalu saja ada yang baru, masalah datang silih berganti seperti tiada habisnya. Dan begitulah hidup jika bergelut dalam dunia pendidikan.
Punishment
Kita harus menghadapi siswa dengan beragam latar dan keturunan, status dan strata sosial. Kita harus bertatap muka dengan siswa dengan sifatnya yang bisa berubah dalam menjalani hari-harinya. Kita harus berkreasi dan berinovasi jika tidak ingin dianggap garing dan membosankan. Dan kita harus bisa bersabar untuk itu semua.

Di sinilah diperlukan koordinasi, saling mengerti dan memahami antara tenaga pengajar. Tanpa koordinasi akan muncul miskomunikasi. Jika hal ini terjadi, maka sudah bisa diprediksi wibawa sekolah dan guru akan tergerus dan digoyah dari san dan sini.

Beruntung kami punya tim yang solid, yang mau diajak kerjasama dan berkoordinasi. Melalui rapat dan pertemuan yang diadakan setiap dua pekan sekali. Namun dalam hal memberi punishment, beragam usulan bermunculan, mengingat banyak sekali pelanggaran yang siswa lakukan.

“Kalau boleh jujur saya bukanlah tipe guru yang bisa garang, yang bisa memberi hukuman tanpa menunjukkan rasa belas kasihan,” ujarku suatu hari pada teman.
“Sebenarnya saya juga gak pengen merek diberi hukuman macam-macam. Tapi melihat pelanggaran dan tingkat kedisiplinan anak-anak. Yah nggak ada pilihan. Harus jadi Super Seia lagi,” ujar kawanku Pak Azis.
Dia cerita jika hampir seminggu ini, diam. Tidak terlalu ngotot melarang dan meyuruh anak, menegur dan sebagainya. Sambil menunggu kesadaran anak-anak. Tapi ternyata mereka semakin dibiarkan semakin menjadi-jadi.

Sebut saja Dori, siswa kelas 9 yang sering melakukan pelanggaran dengan bersembunyi di kolong saat waktunya sembahyang. “Menghilang” saat seharusnya upacara, tidak masuk kegiatan tahfizh dan KBM dan banyak pelanggaran lain. Sempat diskors dua minggu dengan tidak diizinkan mengikuti kegiatan belajar. Eh masih juga belum jera. Malam itu di sanksi dengan lari keliling 20x . hasilnya
Nggak ada jeranya juga.
Itu belum siswa lainnya, Baron, Vicky dan beberapa lagi.

Dan lagi-lagi aku harus belajar untuk mampu menempatkan diri. Kapan harus tegas, keras dan kapan harus lembut.
Belajar dari firman Allah di saat Dia memberikan hukuman.
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ  
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Jika belas kasihan yang dikedepankan, maka orang-orang yang melakukan kesalahan akan mejadi kegirangan.
Maka menjadi sewajarnya itu amat diperlukan. Tegas, keras dan lembut.

Sukabumi, 20 Oktober 2016

0 komentar:

Posting Komentar