Oleh-oleh
Dari Kampung Banaran
Siang itu jalanan di Kampung Banaran
tidaklah tampak ramai, aspal yang memanjang membelah perkampungan terlihat
hanya dilewati motor beroda dua, mobil tampaknya tidak terlalu banyak yang
lewat. Maklum jalan ini bukan jalan umum layaknya di kota. Aku adalah rombongan
yang datang paling terakhir dari iring-iringan pengantin, bareng mobil Suzuki
Putih milik Podo.
kalau sudah halal ya boleh saja |
Para tamu undangan terlihat sudah
memenuhi kursi yang sudah disediakan, penuh sehingga tidak ada satupun kursi
yang kosong. Aku coba mengitarkan pandangan mencari dua sosok pengantin,namun
hasilnya nihil. Mereka berdua tidak ada.
“Mana pengantinnya?” tanyaku pada
Kang Madi, tetanggaku yang ikut iring-iring pengantin.
“Itu di dalam rumah,” jawabnya sambil
menunjuk rumah.
Aku lihat di luar pintu, banyak
sendal berjubel pertanda banyak orang di dalamnya.
“Lagi melangsungkan akad di dalam,”
jawab Kang Madi saat aku tanya acara apa di dalam.
Jujur, aku sedikit kagok untuk jalan
melewati para tamu undangan. Serasa kurang sopan. Andai saja tidak membawa
kamera Nikon. Andai saja aku tidak ditugaskan untuk mengambil momen pernikahan
ini. Andai saja sudah ada dari keluargaku yang telah membawa kamera.
Ah,, aku tepis keraguan itu. Aku
harus masuk.
“Tolong ya langsung dijawab. Jangan
menunggu lama. Qabiltu nikahahaa,” ujar penghulu kepada si pengantin lelaki.
Aku merasa kasihan juga pada kakakku
ini, dari mukanya buliran keringat tampak mengkilat. Suasana gerah ditambah
tidak ada kipas yang disediakan di dalamnya.
Mungkin itu yang menyebabkan dia
kurang konsentrasi. Entah kenapa tiba-tiba aku ikut merasakan dag dig dug juga.
Bagaimana nanti jika saatnya tiba,
aku yang yang berada di depan penghulu.
“Kamu taukan Kang Iwan. Dia sampai
harus mengulang ikrar ijab qabul ini lebih dari 3x, karena gerogi dan tidak
sanggup menucapkannya. Bahkan harus diulang setelah berwudhu,” cerita Isom
tentang Pak Lek nya yang menikahi adik kelasku, Qariatul Hasanah.
Hiiiiii,,, syerem.
Hanya doa doa yang bisa aku
panjatkan, supaya nanti ketika waktu itu tiba. Aku diberi kemudahan.
Selesai akad, aku lihat pak penghulu
bergegas pergi. Katanya hari ini dia harus me”ngawinkan” 3 pasangan termasuk
kakakku.
Acara selanjutnya adalah mengiring
pengantin. Diringi dengan shalawat, pengantin berjalan menemui bidadarinya
untuk disandingkan bersama.
Diawali dengan pembukaan, qiroat,
sambutan dari masing-masing perwakilan pengantin, doa dan sesi poto bersama.
“gakpapa pengantin pria memakai
sarung, itu jadi gampang bukaane. Isis tur nyantri,” ujar Pak Tarom yang
didapuk sebagai penceramah.
Ahayyy..
Satu hal yang menjadi catatan adalah
di saat tamu undangan hendak pulang. Sebagian pengiring menyuruhku untuk
menyampaikan kepada Cak Ali agar kedua pengantin turun dari panggung, menyambut
dan menyalami para tamu undangan yang akan pulang. Sementara Bu Im, selaku
ustadzah dari masku menyuruhku mengumumkan siapapun yang hendak melakukan sesi
poto, agar ke depan. Berpoto bersama.
Inilah satu kebudayaan yang berbeda
antara barat yang kesundaan dengan daerah timur, kejawaan (tidak termasuk Jawa
yang kota ya)
Kalau di daerah Barat para tamu yang
hendak pulang menyalami pengantin di panggung, alau di Jawa perkampungan
pengantinnya harus bersiap diri di pintu keluar.
Dari sini aku bisa belajar, belajar
dari resepsi pengantin kakakku. Yang aku rangkum dalam bentuk Oleh-oleh dari
Kampung Banaran, kampung tempat lahirnya calon kakak iparku, Mbak Qayimah.
Kampung yang sedang dilangsungkannya resepsi pernikahan.
Aku berharap semoga ini jadi modal
penting bagiku kala nanti aku juga melangsungkan acara yang sama. Akad
Nikah.
Kertosono,
25 September 2016
0 komentar:
Posting Komentar