Senin, 03 Oktober 2016

Oleh-oleh Dari Kampung Banaran

Oleh-oleh Dari Kampung Banaran

Siang itu jalanan di Kampung Banaran tidaklah tampak ramai, aspal yang memanjang membelah perkampungan terlihat hanya dilewati motor beroda dua, mobil tampaknya tidak terlalu banyak yang lewat. Maklum jalan ini bukan jalan umum layaknya di kota. Aku adalah rombongan yang datang paling terakhir dari iring-iringan pengantin, bareng mobil Suzuki Putih milik Podo.
kalau sudah halal ya boleh saja
Para tamu undangan terlihat sudah memenuhi kursi yang sudah disediakan, penuh sehingga tidak ada satupun kursi yang kosong. Aku coba mengitarkan pandangan mencari dua sosok pengantin,namun hasilnya nihil. Mereka berdua tidak ada.
“Mana pengantinnya?” tanyaku pada Kang Madi, tetanggaku yang ikut iring-iring pengantin.
“Itu di dalam rumah,” jawabnya sambil menunjuk rumah.
Aku lihat di luar pintu, banyak sendal berjubel pertanda banyak orang di dalamnya.
“Lagi melangsungkan akad di dalam,” jawab Kang Madi saat aku tanya acara apa di dalam.

Jujur, aku sedikit kagok untuk jalan melewati para tamu undangan. Serasa kurang sopan. Andai saja tidak membawa kamera Nikon. Andai saja aku tidak ditugaskan untuk mengambil momen pernikahan ini. Andai saja sudah ada dari keluargaku yang telah membawa kamera.
Ah,, aku tepis keraguan itu. Aku harus masuk.

“Tolong ya langsung dijawab. Jangan menunggu lama. Qabiltu nikahahaa,” ujar penghulu kepada si pengantin lelaki.
Aku merasa kasihan juga pada kakakku ini, dari mukanya buliran keringat tampak mengkilat. Suasana gerah ditambah tidak ada kipas yang disediakan di dalamnya.
Mungkin itu yang menyebabkan dia kurang konsentrasi. Entah kenapa tiba-tiba aku ikut merasakan dag dig dug juga.
Bagaimana nanti jika saatnya tiba, aku yang yang berada di depan penghulu.
Bagaimana jika aku gerogi sampai-sampai tidak sanggup berucap sepatah dua patah kata.
ijab qabul

“Kamu taukan Kang Iwan. Dia sampai harus mengulang ikrar ijab qabul ini lebih dari 3x, karena gerogi dan tidak sanggup menucapkannya. Bahkan harus diulang setelah berwudhu,” cerita Isom tentang Pak Lek nya yang menikahi adik kelasku, Qariatul Hasanah.
Hiiiiii,,, syerem.
Hanya doa doa yang bisa aku panjatkan, supaya nanti ketika waktu itu tiba. Aku diberi kemudahan.

Selesai akad, aku lihat pak penghulu bergegas pergi. Katanya hari ini dia harus me”ngawinkan” 3 pasangan termasuk kakakku.
Acara selanjutnya adalah mengiring pengantin. Diringi dengan shalawat, pengantin berjalan menemui bidadarinya untuk disandingkan bersama.
Diawali dengan pembukaan, qiroat, sambutan dari masing-masing perwakilan pengantin, doa dan sesi poto bersama.

“gakpapa pengantin pria memakai sarung, itu jadi gampang bukaane. Isis tur nyantri,” ujar Pak Tarom yang didapuk sebagai penceramah.
Ahayyy..
Satu hal yang menjadi catatan adalah di saat tamu undangan hendak pulang. Sebagian pengiring menyuruhku untuk menyampaikan kepada Cak Ali agar kedua pengantin turun dari panggung, menyambut dan menyalami para tamu undangan yang akan pulang. Sementara Bu Im, selaku ustadzah dari masku menyuruhku mengumumkan siapapun yang hendak melakukan sesi poto, agar ke depan. Berpoto bersama.

Inilah satu kebudayaan yang berbeda antara barat yang kesundaan dengan daerah timur, kejawaan (tidak termasuk Jawa yang kota ya)
Kalau di daerah Barat para tamu yang hendak pulang menyalami pengantin di panggung, alau di Jawa perkampungan pengantinnya harus bersiap diri di pintu keluar.

Dari sini aku bisa belajar, belajar dari resepsi pengantin kakakku. Yang aku rangkum dalam bentuk Oleh-oleh dari Kampung Banaran, kampung tempat lahirnya calon kakak iparku, Mbak Qayimah. Kampung yang sedang dilangsungkannya resepsi pernikahan.
Aku berharap semoga ini jadi modal penting bagiku kala nanti aku juga melangsungkan acara yang sama. Akad Nikah.

Kertosono, 25 September 2016

0 komentar:

Posting Komentar