Oleh-oleh dari Jalur
Aku
sudah tidak bisa memastikan tanggal berapanya, namun yang aku ingat hari itu
tepat di hari Minggu. Hari-hari yang melelahkan dan terkadang juga membosankan
mendorongku untuk mencari angin segar di luar. Dan secara kebtulan kawanku Pak
Azis ingin di antar pulang, ke kampung halaman, Banyuwangi.
Mutiara |
Namun
aku yang berdomisili di Sukabumi tak harus mengantar beliau sampai Banyuwangi,
karena dia sendiri sudah memesan tiket. Jadilah hanya sampai Perempatan Degung
aku mengantarnya, selebihnya ngebis dan naik kereta.
Jadilah
sampai sini aku ingat bahwa kejadian itu tepat di tanggal 11 September, karena besoknya ada Idul Adha. Akupun
ngacir ke Jalur, sambil mencari pengalaman dan juga kebutuhan yang harus aku
segerakan.
Seperti
telah menjadi hal yang umum, kalau di Jalur Sukabumi sepanjang jalannya
ditempati para pedagang. Entah apa namanya, kalau di Jakarta kemarin pemandangan
seperti ini dinamakan Pasar Murah, sebagian tempat bilang Bazar dan masih
banyak lagi sebutan lainnya yang intinya tempat untuk berjualan dengan harga
yang rata-rata miring. Begitulah adanya di sana.
Semua
dagangan ada, makanan, minuman, alat-alat rumah tangga, mainan, alat-alat
ibadah lengkap dah pokoknya. Karena esok hari raya Idul Adha maka kopiah
menjadi incaranku. Kenapa kopiah? Karena esok diberi amanah untuk memimpin
khutbah. Maka jaga penampilan amatlah diperlukan.
Dengan
melalui jalan yang lagi-lagi aku lupa namanya, pokoknya ada di sebelah ruko
Mitsubishi yang menjual aneka ragam mobil. Oh ya namanya jalan cemerlang. Aku menuju
jalur. Jujur, aku rasa aku telah salah memilih jalan, harusnya melewati jalan
rambay saja, atau nggak lebih dekat lewat jalan mangkalaya tapi apalah daya. Udah
terlanjur, yang penting aku bisa sampai di jalur dan meyemut macet bersama
dengan orang-orang lainnya.
Menyusuri
jalanan yang dipenuhi banyak pedagang, bukan berati enak, karena banyaknya
pilihan yang tersedia tapi malah bingung. Bingung untuk memilih.
Yang
tadinya mencari kopiah, tak jadi. Yang tadinya mencari alat-alat untuk bengkel
tak jadi pula. Apa sebabnya?
Saat
melihat apa yang seharusnya aku beli, pikiranku berkata. Nanti saja, mungkin di
depan ada yang jualan barang yang lebih bagus lagi. Begitulah seterusnya.
Alhasil,
saat jaln sepanjang jalur selesai aku tak menemukan penjual yang lebih bagus. Untuk
kembali lagi, aku malas.
Jadilah
hariku untuk membeli leawat sudah.
Dan
jadilah aku membawa oleh-oleh yang berharga. Oleh-oleh berupa pengalaman untuk
tidak menjadikan suatu yang tidak pasti menjadi patokan.
Bagaimana
jika hal ini berlaku pada pencarian terhadap seorang pendamping?
Mencari
istri yang sebenarnya sudah disediakan untuk diriku tapi aku selalu mencari dan
mencari lagi, yang lebih cantik, lebih sempurna dan lebih segalanya.
Ah.... Allahumma yassir. Amiiiiin
Sukabumi, 31 Oktober 2016
0 komentar:
Posting Komentar