Nasehat
Atau Teladan?
Saat-saat KKN di Cikundul, Sukabumi |
Suatu hari aku melihat dua orang bocah
yang sedang menjinakkan kucing, kelihatannya mereka berdua kakak beradek, satu
di antaranya seumuran kelas 4 SD, satu lagi seumuran anak TK. Sambil diliputi
rasa takut keduanya berusaha memegang kepala kucing, tapi entah sudah lewat
dari lima menit belum juga berhasil.
Aku yang sedang asyik
menikmati makan siang, merasa kasihan juga.
“Takut ah, ntar dicakar,”
ujar sibungsu.
Sebenarnya aku tahu kalau
kucing-kucing itu tidaklah mencakar,hanya saja namanya anak-anak, kekhawatiran
pastilah ada. Meski keduanya penyuka kucing di rumahnya.
“Pegang aja, nggak-nggak kok kalau
dicakar,” nasehatku sambil terus melahap makanan.
“Ah,, nggak mau ah, takut,”
ujar si sulung sambil tetap berusaha membelai kepala kucing. Namun keberanian
dirinya,kalah dengan tatapan kucing yang sekilas tampak sangar.
Meoooong ... Meooooong!!
Merasa kasihan, aku pun
mengambil kucing yang sedang dijinakkan keduanya, kuangkat dan kuelus
kepalanya.
“Nih kan sudah kaka bilang, kalau
kucing ini tidak mencakar”
“Oh iya,” kata mereka baru
percaya.
Kuserahkan kucing itu agar
mereka gendong. Dan kini mereka tidak takut lagi.
Memang benar. Seringkali aku
mendengar istilah bahwa 1000 nasehat tak lebih baik daripada sebuah teladan.
Memberi nasehat kadang sulit, tapi lebih sulit lagi memberi teladan.
Di lain hari. Sudah menjadi rutinitas
bagiku, menjalani profesi sebagai wali asrama, belajar bareng siswa, tidur
bareng, makan barenga, hampir semuanya bareng satu atap satu pijakan bumi. Makanya
saking sering bersamanya, di sini aku bisa dianggap sebagai kakak, bapak
ataupun guru sesuai kondisi dan waktu.
“ssst .. Jangan berisik. Ayo dzikir,
jangan ngobrol mulu.”
“ayooo semua baca dzikir. Yang
tidur dibangunin!”
Tak kurang beberapa kali aku
dan guru lainnya memberi nasehat tentang manfaat dzikir, keutamaannya dan
banyak lagi. Sampai-sampai aku coba menjadi teladan dengan berdzikir khusyuk,
tidak terlalu menggubris apa yang kebanyakan dilakuin siswa saat seharusnya
berdzikir atau tilawah.
Hasilnya?
Tak semua siswa bisa sadar, kadang aku berpikir teladan bisa membuat mereka malu jika tidak meniru para guru, ternyata tidak. Nasehat lembut juga sering kita lontarkan, dengan harapan mereka membaik. Ternyata masih sama, TIDAK.
Tak semua siswa bisa sadar, kadang aku berpikir teladan bisa membuat mereka malu jika tidak meniru para guru, ternyata tidak. Nasehat lembut juga sering kita lontarkan, dengan harapan mereka membaik. Ternyata masih sama, TIDAK.
Namanya juga anak-anak. Ya wajarlah,
mereka berbuat semaunya.
Setuju nggak sih amat
statement demikian?
Jadi dalam posisi seperti
ini, nasehat atau teladan yang diutamakan?
Sempat di suatu rapat, para
guru membahas tentang perannya di hadapan siswa.
“Aku mah kepribadiannya
lembut, jadi sulit untuk bisa tegas dengan siswa.”
“Kalau aku memang kejam dari
sononya,” timpal guru lainnya.
Belajar dari pengalaman,
sebaik-baik guru adalah yang mampu menempatkan diri. Kapan harus sabar, kapan
harus tegas. Kapan menjadi sosok ayah, berperan sebagai kakak atau murni
menjadi guru. Nasehat saja tidak cukup, teladan saja belum mempan. Teguran bahkan
hukuman suatu saat pasti diperlukan.
So, pintar-pintar ya
berperan.
Sukabumi,
12 Januari 2017
0 komentar:
Posting Komentar