Ketika
Kualitas Berbanding Lurus dengan Kuantitas
Pokoknya saya menolak dengan
peraturan yang diterapkan di Al Araf!!!
Menolak dengan sistem pekan tahfizh yang
menjadi syarat dibolehkannya siswa mengikuti UAS. Biarlah kurikulum pendidikan
berjalan sendiri tanpa perlu dicampuri kegiatan asrama. Biarlah sistem ini
berlaku khusus untuk kelas 7, sistem yang solid tentunya dan berkesinambungan.
Bukan sistem yang dipaksakan. Apalagi untuk kelas 9 yang sebentar lagi mau
ujian akhir semester. Kan tahu sendiri betapa pentingnya nilai raport di
semester ganjil untuk siswa yang akan mengikuti tes masuk SMA.
Begitulah nada protes dari mama siswa
yang merasa anaknya dirugikan gegara dia belum lulus ujian tahfizh nya.
Ketidaklulusan yang berimbas pada larangan mengikuti UAS.
Penolakan ini berujung pada semacam intimidasi
pada beberapa guru, luapan kekecewaan, pesan khusus untuk anaknya, wanti-wanti dan banyak lagi. Salah satu yang menjadi
korbannya adalah diriku sendiri.
Terlalu ekstrim untuk bilang korban, namun
aku sendiri kurang tahu bahasa apa yang harus aku gunakan kalau bukan korban.
Jumat di pekan kedua ujian susulan
tahfizh, ibunya aku beri informasi kalau putra bungsunya belum lulus, namun
masih ada waktu untuk mengejar, dua hari sebelum UAS hari Senin. Beliau pun
memintaku untuk stand by nongkrongin dia dari pagi hingga petang sepanjang hari
Sabtu. Aku sanggupi. Namun apalah daya,
selama aku menongkrongin, anaknya tak sanggup bertahan lam untuk duduk
menyetorkan hafalan. Buktinya baru setoran satu halaman, dia sudah jalan-jalan,
main pimpong.
Minggu, beberapa jam menjelang UAS,
kembali aku informasikan bahwa anaknya tidak lulius dan belum bisa mengikuti
UAS sesuai jadwal. Tak berapa lama, handphone ku berdering.
Dan mulailah kritikan, ungkapan
kekecewaan, rasa sakit hati hingga penyesalan dari kedua orangtuanya
diungkapan.
Manajemen Al Araf yang tak berkelas
Sistem yang diterapkan tidak pernah pas
Tak memperhatikan psikologi murid dari
masing-masing kelas
Penurunan jumlah siswa besar-besaran
akhirnya menjadi imbas.
“Dulu waktu ada perpindahan siswa di
kelas 7, RCM kena imbasnya. Sekarang? Gegara ujian tahfizh kena lagi deh untuk
yang kedua kalinya,” begitu kurang lebih ayahnya berujar.
Selain penolakan yang disampaikan terkait
peraturan UAS, ada satu hal yang menggelitik hatiku dan aku akui kalau itu
memang realita. Tentang kualitas. Ya kualitas.
“Kalau saya lihat tingkat kualitas
pendidikan Al Araf itu amat berbeda dengan sekolah yang lainnya. Tingkat pemahaman,
daya tangkap pelajaran amat berbeda. Al Araf itu rendah standarnya,” lanjut
beliau.
Kok ngerasa ya hehehe
Bagiku begitulah yang aku rasa.
Betapa tidak! Banyak jam yang kosong.
Pendidikan dasar kitab, agama amat sangat jarang. Siswa lebih sering santai. Maka
wajar beliau berkata demikian.
Bahkan, kata bang Kikin, mengulang apa
yang sebagian orangtua alumni, kalau Al Araf itu bagus di hafalan Cuma dasar
tajwidnya ngasal.
Hmmm, sebuah fenomena yang seharusnya tak
ada.
Sudah kuantitasnya menurun kualitasnya
ikut-ikutan juga.
Namun, aku yakin. Jika itu bukan berarti
kiamat. Seperti kata pepatah, di balik mendung cuaca cerah telah menunggu. Di balik
pekatnya malam sinar mentari siap mengganti.
Sekolahku Al Araf pun juga begitu.
Sukabumi,
09 Desember 2016
0 komentar:
Posting Komentar