Jumat, 09 Desember 2016

Ketika Kualitas Berbanding Lurus dengan Kuantitas

Ketika Kualitas Berbanding Lurus dengan Kuantitas

Pokoknya saya menolak dengan peraturan yang diterapkan di Al Araf!!!
Menolak dengan sistem pekan tahfizh yang menjadi syarat dibolehkannya siswa mengikuti UAS. Biarlah kurikulum pendidikan berjalan sendiri tanpa perlu dicampuri kegiatan asrama. Biarlah sistem ini berlaku khusus untuk kelas 7, sistem yang solid tentunya dan berkesinambungan. Bukan sistem yang dipaksakan. Apalagi untuk kelas 9 yang sebentar lagi mau ujian akhir semester. Kan tahu sendiri betapa pentingnya nilai raport di semester ganjil untuk siswa yang akan mengikuti tes masuk SMA.

Begitulah nada protes dari mama siswa yang merasa anaknya dirugikan gegara dia belum lulus ujian tahfizh nya. Ketidaklulusan yang berimbas pada larangan mengikuti UAS.  


Penolakan ini berujung pada semacam intimidasi pada beberapa guru, luapan kekecewaan, pesan khusus untuk anaknya, wanti-wanti  dan banyak lagi. Salah satu yang menjadi korbannya adalah diriku sendiri.
Terlalu ekstrim untuk bilang korban, namun aku sendiri kurang tahu bahasa apa yang harus aku gunakan kalau bukan korban.
Jumat di pekan kedua ujian susulan tahfizh, ibunya aku beri informasi kalau putra bungsunya belum lulus, namun masih ada waktu untuk mengejar, dua hari sebelum UAS hari Senin. Beliau pun memintaku untuk stand by nongkrongin dia dari pagi hingga petang sepanjang hari Sabtu. Aku sanggupi.  Namun apalah daya, selama aku menongkrongin, anaknya tak sanggup bertahan lam untuk duduk menyetorkan hafalan. Buktinya baru setoran satu halaman, dia sudah jalan-jalan, main pimpong.

Minggu, beberapa jam menjelang UAS, kembali aku informasikan bahwa anaknya tidak lulius dan belum bisa mengikuti UAS sesuai jadwal. Tak berapa lama, handphone ku berdering.
Dan mulailah kritikan, ungkapan kekecewaan, rasa sakit hati hingga penyesalan dari kedua orangtuanya diungkapan.
Manajemen Al Araf yang tak berkelas
Sistem yang diterapkan tidak pernah pas
Tak memperhatikan psikologi murid dari masing-masing kelas
Penurunan jumlah siswa besar-besaran akhirnya menjadi imbas.

“Dulu waktu ada perpindahan siswa di kelas 7, RCM kena imbasnya. Sekarang? Gegara ujian tahfizh kena lagi deh untuk yang kedua kalinya,” begitu kurang lebih ayahnya berujar.

Selain penolakan yang disampaikan terkait peraturan UAS, ada satu hal yang menggelitik hatiku dan aku akui kalau itu memang realita. Tentang kualitas. Ya kualitas.
“Kalau saya lihat tingkat kualitas pendidikan Al Araf itu amat berbeda dengan sekolah yang lainnya. Tingkat pemahaman, daya tangkap pelajaran amat berbeda. Al Araf itu rendah standarnya,” lanjut beliau.
Kok ngerasa ya hehehe
Bagiku begitulah yang aku rasa.
Betapa tidak! Banyak jam yang kosong. Pendidikan dasar kitab, agama amat sangat jarang. Siswa lebih sering santai. Maka wajar beliau berkata demikian.

Bahkan, kata bang Kikin, mengulang apa yang sebagian orangtua alumni, kalau Al Araf itu bagus di hafalan Cuma dasar tajwidnya ngasal.

Hmmm, sebuah fenomena yang seharusnya tak ada.
Sudah kuantitasnya menurun kualitasnya ikut-ikutan juga.
Namun, aku yakin. Jika itu bukan berarti kiamat. Seperti kata pepatah, di balik mendung cuaca cerah telah menunggu. Di balik pekatnya malam sinar mentari siap mengganti.
Sekolahku Al Araf pun juga begitu.

Sukabumi, 09 Desember 2016

0 komentar:

Posting Komentar