Hari ini aku diajari abahku, KH. Asroful Anam bagaimana cara berpenampilan layak di depan publik. Tepat saat bersama berangkat ke masjid As Sholikhin guna menunaikan shalat Idul Fitri beliau menegurku, “imam kok penampilane nggak meyakinkan.” Saat itu aku mengenakan pakaian polos putih dengan sarung corak hitam abu-abu.
“Kulo mboten ngimami Bah,” ujarku membela diri.
“Seharusnya,”
lanjut beliau, “kalau mau jadi imam, apalagi Khotib harus tampil meyakinkan.
Pakai jas atau Jasko misalnya.”
Lalu beliau
bercerita setiap ada jatah imam dan khutbah, apalagi bertepatan dengan momen
hari raya, beliau selalu mengenakan jubah putih.
“Jadi Khotib iku
koyo dadi komandan perang. Harus tegas, penampilan harus meyakinkan. Ora embleh-embleh
(asal-asalan) koyok ngene.” Lanjut Abah, menasehati.
Deg, benar juga...
Tiba di masjid,
pas dengan pengumuman panitia takmir masjid kalau aku menjadi petugas imam hari
ini. Alhamdulillah, sebelum berangkat sudah aku rembuk dengan Lek Bidin kalau
beliau yang mengganti posisiku, “khotib sak imame ya Lek!”
Ok
Dan benar, aku
perhatikan Lek Bidin tampil begitu mengesankan, pakain kotak berbalut jas,
tersampir surban khas kyai besar di pundak beliau dengan balutan sarung yang menyesuaikan.
Gagah, meching.
Hal ini
dipertegas dengan kelantangan beliau saat maju menjadi imam. “Lurus dan
rapatkan......... sampuun?” tanya beliau sebelum takbiratul ihram.
Dereng
siaaaaaap..
Dan beliau
menunggu sampai di belakang berteriak SIIIIIAAAAP!!!
Belum abis
kekagumanku saat selesai imam, beliau dengan lantang dan tegas menyampaikan
khutbah. Isinya subhanallah..
Ringkas, lugas
dan mengena.
Ringkas karena
tidak terlalu lama dan betele tele
Lugas, karena
isi dilengkapi dengan ayat dan hadits
Mengena karena
disesuaikan dengan keadaan, Idul Fitri Cara Menyikapinya di tengah Wabah
Pandemi.
Sungguh
pelajaran yang sangaaat berharga.
0 komentar:
Posting Komentar