Saatnya
Menentukan Pilihan
“Pie Cak?” suara kawanku Huda kembali
diulang, meminta kepastian.
Jujur saja pertanyaan sekaligus tawaran
dari Huda membuatku sedikit dilema. Pasalnya ini bukan sembarang tawaran,
tawaran yang hanya diperuntukkan untuk orang-orang dewasa. Tawaran untuk
menikahi adik iparnya.
“Ntar nama akun fb nya tak kirimin,” kata
Huda sambil menyebut nama yang dimaksud, Rifa nama panggilannya. Saat aku lihat
akun di fb, Rifa Bintunnaya Abdurrahman. Nama yang asyik tentunya. Dari
nasab orang paling terkenal di seantero nahdhiyyin, Mbah Hasyim Asy’arie.
Tuhan apa yang aharus aku perbuat?
“Mak, saya ada tawaran ini. Dari teman Al
Khoiriyah,” aku melapor pada Emakku.
Bagiku Emak adalah tempat untuk
mencurahkan segala kesah dan resah, senang susah. Aku lihat Emak masih asyik
dengan aktifitasnya, menggoreng tempe untuk lauk sarapan pagi.
“Ini Emak, aku ada potonya,” tambahku sambil
mengeluarkan HP. Berusaha mencari poto yang dikasih temanku.
“Mana, mana,”kata Emak penasaran. Yang
disambut antusias oleh Mbakku, Choiriyah.
Aku pun mulai menjelaskan tentang tawaran
“jodoh” yang ditawarkan oleh temanku. Seorang dari daerah Ngawi, kisaran umur
23 tahun, hafizhoh anak pondokan. Seorang lagi perawat dengan kisaran umur tak
jauh berbeda dari yang pertama. Anak Nganjukan, adek kandung dari sahabatku,
Anik.
Obras (Obrolan Santai) yang membuatku
berani mengambil tindakan, memilih satu dari sekian pilihan. Yang juga
memberiku satu kekuatan untuk datang nadhar sendiri ke rumah perempuan
yang di Ngawi, bersama Ahmad dan Zami di medio ramadhan selepas ada acara MHQ
“Jannatul Firdasy II”
Ada yang bilang jika ibadah itu jangan
ditunda, bahkan cenderung dilarang. Di antara ibadah tersebut adalah menikah,
selain memandikan dan menguburkan jenazah tentunya.
Mungkin itu pula yang menjadikan Huda,
pemberi tawaran “jodoh” untuk segera bertemu. Berulang kali aku mengelak dan
menghindar untuk tidak bertemu, namun usahaku seakan buntu. Dengan caraku, aku
terangkan jika sedang “taaruf” dengan seorang wanita meski belum ada mufakat
untuk ke arah yang lebih “dalam.”
“Udahlah, santai saja. Cuma lihat aja.
Jadi atau nggak nya nanti dibicarakan lagi,” bujuk Huda menyuntik penyakit
waswasku sehingga sedikit pudar.
Bismillah..
Demi kebaikan masa depan. Sebuah rasa
menjalar bersama denyut nadi di tubuhku, degup detak jantungku. Ahh, sebuah
perasaan yang hampir sama pernah aku rasakan ketika pertama kali menginjakkan
kaki di Gayungan Jemuran Surabaya, hanya ini tak seberapa kencang dibanding di
sana.
Entah anugerah atau musibah. Aku baru
sadar jika tawaran bukan hanya satu dua, dari Ibu Luluk atas putrinya yang satu
ini, dari Umi nya Mbak Irfa yang di Tuban, dari Pak yai Masduki Perak Jombang
sampai Gus-gus pengurus masjid Tiban tempatku jadi Imam tarawih beberapa bulan
silam.
Amboyy alangkah sempitnya dunia ini, hari
gini masih juga menjomblo diri. Nunggu apa lagi??
Saatnya menentukan pilihan.
Allahumma... fa yassirhu lii tsumma
baariklii fiih.
Kertosono,
16 September 2016
0 komentar:
Posting Komentar