Jumat, 16 September 2016

Saatnya Menentukan Pilihan

Saatnya Menentukan Pilihan

“Pie Cak?” suara kawanku Huda kembali diulang, meminta kepastian.
Jujur saja pertanyaan sekaligus tawaran dari Huda membuatku sedikit dilema. Pasalnya ini bukan sembarang tawaran, tawaran yang hanya diperuntukkan untuk orang-orang dewasa. Tawaran untuk menikahi adik iparnya.
“Ntar nama akun fb nya tak kirimin,” kata Huda sambil menyebut nama yang dimaksud, Rifa nama panggilannya. Saat aku lihat akun di fb, Rifa Bintunnaya Abdurrahman. Nama yang asyik tentunya. Dari nasab orang paling terkenal di seantero nahdhiyyin, Mbah Hasyim Asy’arie.
Tuhan apa yang aharus aku perbuat?
 
Allahumma .... fa Yassirhu Liiii
“Mak, saya ada tawaran ini. Dari teman Al Khoiriyah,” aku melapor pada Emakku.
Bagiku Emak adalah tempat untuk mencurahkan segala kesah dan resah, senang susah. Aku lihat Emak masih asyik dengan aktifitasnya, menggoreng tempe untuk lauk sarapan pagi.
“Ini Emak,  aku ada potonya,” tambahku sambil mengeluarkan HP. Berusaha mencari poto yang dikasih temanku.
“Mana, mana,”kata Emak penasaran. Yang disambut antusias oleh Mbakku, Choiriyah.
Aku pun mulai menjelaskan tentang tawaran “jodoh” yang ditawarkan oleh temanku. Seorang dari daerah Ngawi, kisaran umur 23 tahun, hafizhoh anak pondokan. Seorang lagi perawat dengan kisaran umur tak jauh berbeda dari yang pertama. Anak Nganjukan, adek kandung dari sahabatku, Anik.


Obras (Obrolan Santai) yang membuatku berani mengambil tindakan, memilih satu dari sekian pilihan. Yang juga memberiku satu kekuatan untuk datang nadhar sendiri ke rumah perempuan yang di Ngawi, bersama Ahmad dan Zami di medio ramadhan selepas ada acara MHQ “Jannatul Firdasy II”

Ada yang bilang jika ibadah itu jangan ditunda, bahkan cenderung dilarang. Di antara ibadah tersebut adalah menikah, selain memandikan dan menguburkan jenazah tentunya.
Mungkin itu pula yang menjadikan Huda, pemberi tawaran “jodoh” untuk segera bertemu. Berulang kali aku mengelak dan menghindar untuk tidak bertemu, namun usahaku seakan buntu. Dengan caraku, aku terangkan jika sedang “taaruf” dengan seorang wanita meski belum ada mufakat untuk ke arah yang lebih “dalam.”
“Udahlah, santai saja. Cuma lihat aja. Jadi atau nggak nya nanti dibicarakan lagi,” bujuk Huda menyuntik penyakit waswasku sehingga sedikit pudar.
Bismillah..
Demi kebaikan masa depan. Sebuah rasa menjalar bersama denyut nadi di tubuhku, degup detak jantungku. Ahh, sebuah perasaan yang hampir sama pernah aku rasakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di Gayungan Jemuran Surabaya, hanya ini tak seberapa kencang dibanding di sana.

Entah anugerah atau musibah. Aku baru sadar jika tawaran bukan hanya satu dua, dari Ibu Luluk atas putrinya yang satu ini, dari Umi nya Mbak Irfa yang di Tuban, dari Pak yai Masduki Perak Jombang sampai Gus-gus pengurus masjid Tiban tempatku jadi Imam tarawih beberapa bulan silam.

Amboyy alangkah sempitnya dunia ini, hari gini masih juga menjomblo diri. Nunggu apa lagi??
Saatnya menentukan pilihan.
Allahumma... fa yassirhu lii tsumma baariklii fiih.
Kertosono, 16 September 2016


0 komentar:

Posting Komentar