Kamis, 19 Mei 2016

HANYA TERSISA UNTAIAN DOA

HANYA TERSISA UNTAIAN DOA

“Bang, kalau waqaf di kalimat ini bagaimana ya? Apa boleh? Terus penglangannya dari kalimat mana?” tanya peserta qari, selepas tampil dari arena.
“Kalau bel satu, nggak sampai dorong. Ada kemungkinan lolos nggak ya?” tanya peserta tahfizh tak kalah sengit.
Aku baru nyadar mempunyai kedudukan yang penting di mata para qari, karena bisa mengurangi penilaian. Termasuk di kalimat mana mengulangi waqaf tersebut.

Tersisa sebuah doa
“Enak ya, qari. Tinggal baca saja. jadi nggak gerogi. Beda amatahfizh harus ingat ama bacaannya. Sedikit bel bisa mempengaruhi kelangsungan rasa tenang setelahnya.
Dan aku baru nyadar jika qari pun punya rasa gerogi. Dalam menentukan lagu, waqaf dan ibtida’nya. Mengatur panjang pendek nafasnya. Bagaimana menghindari jally yang susah untuk disadari.
Hmmmm, ada ada aja.


Belum lagi pertanyaan yang menginterogasi, “tadi penampilan gimana? Ada bel nggak? Kalau si anu mulus nggak?”

Berharap menjadi yang terbaik amat diperlukan, karena dari sana akan muncul obsesi untuk tampil semaksimal mungkin, persiapan sebaik mungkin.
Jika penampilan hanya setengah-setengah atau merasa hanya mengisi kekosongan, karena sudah mendapatkan tiket mending ke laut saja deh!
Kasihan yang lain yang ingin mempunyai kesempatan untuk manggung di tingkat nasional bahkan internasional.

Makanya tak ada pilihan jika kita telah tampil selain berharap ada sebuah keajaiban menanti. Harapan tentu tak akan cukup tanpa disertai doa. Dengan doa sesorang akan diantarkan untuk menjadi pribadi yang pasrah dan tawakkal. Pasrah pada hasil yang ditentukan setelah melalui proses tawakkal yang panjang.
“Tidak ada yang bisa meolak takdir kecuali doa.”
Demikian sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi)

“Ya Allah semoga saja hasil penampilanku bernilai maksimal, tidak mengecewakan dan baik di sisi Mu dan bermanfaat untuk kami. Amiiiin”

Teluk Bintuni, 17 Mei 2016

0 komentar:

Posting Komentar