HANYA TERSISA UNTAIAN DOA
“Bang, kalau waqaf di kalimat ini bagaimana
ya? Apa boleh? Terus penglangannya dari kalimat mana?” tanya peserta qari,
selepas tampil dari arena.
“Kalau bel satu, nggak sampai dorong. Ada
kemungkinan lolos nggak ya?” tanya peserta tahfizh tak kalah sengit.
Aku baru nyadar mempunyai kedudukan yang
penting di mata para qari, karena bisa mengurangi penilaian. Termasuk di
kalimat mana mengulangi waqaf tersebut.
Tersisa sebuah doa |
“Enak ya, qari. Tinggal baca saja. jadi nggak
gerogi. Beda amatahfizh harus ingat ama bacaannya. Sedikit bel bisa
mempengaruhi kelangsungan rasa tenang setelahnya.
Dan aku baru nyadar jika qari pun punya rasa
gerogi. Dalam menentukan lagu, waqaf dan ibtida’nya. Mengatur panjang pendek
nafasnya. Bagaimana menghindari jally yang susah untuk disadari.
Hmmmm, ada ada aja.
Belum lagi pertanyaan yang menginterogasi,
“tadi penampilan gimana? Ada bel nggak? Kalau si anu mulus nggak?”
Berharap menjadi yang terbaik amat
diperlukan, karena dari sana akan muncul obsesi untuk tampil semaksimal
mungkin, persiapan sebaik mungkin.
Jika penampilan hanya setengah-setengah atau
merasa hanya mengisi kekosongan, karena sudah mendapatkan tiket mending ke laut
saja deh!
Kasihan yang lain yang ingin mempunyai
kesempatan untuk manggung di tingkat nasional bahkan internasional.
Makanya tak ada pilihan jika kita telah
tampil selain berharap ada sebuah keajaiban menanti. Harapan tentu tak akan
cukup tanpa disertai doa. Dengan doa sesorang akan diantarkan untuk menjadi
pribadi yang pasrah dan tawakkal. Pasrah pada hasil yang ditentukan setelah
melalui proses tawakkal yang panjang.
“Tidak ada yang bisa meolak takdir kecuali
doa.”
Demikian sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi)
“Ya Allah semoga saja hasil penampilanku
bernilai maksimal, tidak mengecewakan dan baik di sisi Mu dan bermanfaat untuk
kami. Amiiiin”
Teluk
Bintuni, 17 Mei 2016
0 komentar:
Posting Komentar