Falsafah orang Jawa kuno selalu terkandung sesuatu yang arif dan bijaksana untuk dipelajari. Beruntung sekali orang yang bisa mengenalnya, apalagi bisa memahaminya. Tetapi sedikit orang yang mau mengkaji akan hal ini, satu di antara falsafah itu adalah Bodo Kupat.
Secara harfiah, Bodo Kupat hampir mirip dengan Bodo Amat, tapi kedua kata mempunyai arti yang jauh berbeda. bodo Kupat artinya Lebaran Ketupat sedang Bodo Amat artinya Biarin, Suka Suka Gue, kata anak-anak jaman milenial.
Bodo Kupat biasa dilaksanakan 7 hari semenjak dimulainya salat idulfitri. Dalam Bodo Kupat, beragam menu tradisional disediakan untuk dikonsumsi. Menu tersebut sangat khas dan tidak tergantikan. Apa saja dan apa makna dari makanan tersebut:
1. Lontong “Olo e Dadi Kotong”
Lontong menurut orang Jawa punya filosofi “olo e dadi kotong” atau dalam bahasa Indonesianya, kejelekannya sudah tidak ada atau hilang. Filosofi ini erat kaitannya dengan bulan Ramadhan. Seperti yang kita tahu, selama di bulan suci itu umat islam akan dilebur dosa-dosanya setelah sebulan berpuasa. Hingga akhirnya kembali suci dan fitrah, sehingga dijuluki dengan “olo e dadi kotong”.
Meskipun tak harus dimakan setelah bulan puasa, lontong silahkan kamu nikmati kapan saja. Namun kali ini jangan lupa, jika lontong tersebut adalah representasi dari dosa yang telah dihilangkan. Jadi, mudah-mudahan bisa jadi pengingat yang baik agar kita selalu bertaubat agar terampuni semua dosa-dosa.
2. Lepet “Elek e Disimpen Sing Rapet”
Sama seperti lontong, lepet juga punya filosofinya sendiri, yakni “elek e disimpen sia sendiri disimpan rapat-rapat. Kejelekan adalah aib yang sebisa mungkin jangan pernah diumbar.
Namun di zaman sekarang ini yang semuanya serba terbalik, orang-orang malah bangga dengan kejelekannya. Ketika mengunyah ketan dan kacangnya yang lembut, lepet akan terus menerus mengingatkanmu agar selalu bisa menjaga kejelekan sendiri.
3. Lemper “Yen Dilem Atimu Ojo Memper”
Lemper adalah jajanan primadona yang selalu ada dalam setiap acara besar. Mulai dari khitanan, resepsi nikah, sampai bungkusan pengajian.
Lemper juga punya filosofi yang sangat bagus, “yen dilem atimu ojo memper” yang artinya ketika dipuji maka hatimu jangan sombong atau berbangga diri.
Ya, kadang memang demikianlah yang terjadi sekarang. Ketika pujian malah bukan jadi suatu pelajaran justru menumbuhkan rasa kebanggaan berlebihan. Merasa sombong dan menganggap orang lain tidak ada apa-apanya. Ketika memakan kudapan satu ini kamu juga bisa mengartikan jika di atas dirimu yang sudah hebat itu, masih ada lainnya yang lebih jago lagi. Lemper memang kue sederhana dan gampang dibuat tapi esensi di dalamnya sangat luas.
4. Ketupat/Kupat “Ngaku Lepat”
Kupat atau ketupat ini adalah makanan yang ikonik dengan selebrasi lebaran. Meskipun sebenarnya tak jauh beda dari lontong, namun bentuk kupat yang unik membuatnya tetap berbeda.
Tahu kah kamu kenapa kupat umumnya hanya ada di hari lebaran saja? Idul Fitri identik dengan maaf memaafkan dan makanan yang paling representatif untuk menggambarkan hal tersebut adalah kupat. “Ngaku lepat” adalah filosofi di balik makanan
5. Apem
Apem merupakan jajanan lawas yang mungkin sudah dibuat beratus tahun yang lalu Apen terambil dari bahasa Arab "afuw" yang artinya maaf. Jadi orang-orang dahulu biasa memberi apem kepada tetangga sebagai bentuk permintaan maaf. Makanya, apem rasanya manis semanis permintaan maaf kepada orang-orang.
6. Kolak
Sama seperti deretan makanan di atas makanan ini juga mengandung filosofi bahkan dua arti sekaligus. Kolak biasanya terdiri dari umbi-umbian pendam yang bahasa Jawanya disebut “polo pendem”. Hal ini mengingatkan kita kalau pada akhirnya setiap manusia akan dipendam atau dikubur. Maka sebelum hal tersebut terjadi, maka berbuat baik, lakukan kewajiban dan juga pahami filosofi santan.
Santan atau biasanya disebut santen mengandung arti “sing salah nyuwun ngapunten” yang artinya adalah siapa pun yang bersalah haruslah meminta maaf. Selain amal, maaf adalah hal yang kita butuhkan saat mati.
Ketika seseorang ikhlas memaafkan kita, maka kematian pun akan jauh lebih mudah. Seperti sudah tidak ada beban lagi, lebih-lebih ketika menjalani kehidupan setelah kematian.
Bagaimana, luar biasaa kan!!!
Al-Muhafadzah ala al-Qodim al-Shaleh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah
memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.
Nganjuk, 03 Juni 2020
0 komentar:
Posting Komentar