SATU RAMADHAN DUA PUASA
15 hari 20 jam 15 menit...
Pernahkah kalian merasakan suasana hidup di
pesantren?
Pesantren yang mempunyai peraturan yang
terbilang ketat dengan konsekuensi hukuman tegas jika ada santrinya melanggar?
Menegangkan kadang, namun juga mengasyikkan.
Menimbulkan rasa kangen, padahal dalam keseharian seringkali menimbulkan rasa
bosan. Suasana yang campur aduk itu sampai pada puncak kala bulan Ramadhan
telah tiba. Kok bisa?
1 Ramadhan 2 Puasa |
Sudah bukan rahasia umum dalam dunia
pesantren, jika ramadhan tiba, itu sama saja dengan tinggal menghitung hari.
Menghitung jumlah jam yang tersisa hingga derap langkah jarum panjang jam
tangan. Karena sudah bisa dipastikan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan
kita berada di kampung halaman. Pulang.
Jadilah hari-hari bulan Ramadhan terasa lebih
panjang. Beruntung pihak pesantren memahami kegalauan yang dirasakan
santri-santrinya.
Entah benar atau tidak, setiap masuk bulan
ramadhan, kegiatan santri sedikit dikurangi, porsi istirahat lebih tinggi dan
jatah makan pun dilebihi. Tapi kenyataan itu yang aku rasakan.
Sahur misalnya, susu jahe seakan menjadi
minuman yang wajib adanya, selain menu sahur lainnya. Padahal biasanya untuk
mendapatkan susu kita harus merogoh gocek terlebih dahulu. Hal yang tak pernah
aku lupakan adalah ketika sebagian kecil santri dengan dandanan pendekar
bertopeng sarung melakukan pawai keliling pesantren sambil menabuh alat
seadanya, membangunkan santri.
Pemandangan berbeda juga tampak ketika
menjelang berbuka. Semua santri diwajibkan berkumpul di depan hidangan seraya
mengucapkan doa bersama dan berulang,
Asyhadu an Laa Ilaaha Illallahu wa Asyhadu
Anna Muhammadan Rasulullah
Allahumma inna nas aluka ridhoka wal jannata
Wa na’udzubika min sakhathika wan naari.
Ustadzku selalu mengingatkan kalau beberapa
saat sebelum adzan maghrib berkumandang adalah saat yang mustajab untuk berdoa.
Sementara buah kurma, kolak kacang hijau atau
ubi sudah siap untuk disantap di samping menu utama.
Sebuah rutinitas yang amat panjang, hingga
tiba saatnya pulang ke kampung halaman masing-masing. Sukabumi – Jawa. Karena
pesantrenku ada di Sukabumi, sementara rata-rata santrinya berasal dari kediri,
Nganjuk dan sekitarnya.
Ketika jemputan datang, akupun menutup
perhitungan mundur di buku diary ku dengan angka 0 hari 0 jam 0 menit alias
zero.
Lain di pesantren lain pula di kampung
halamanku.
Tidak ada momen yang lebih menggembirakan
melebihi berkumpulnya sanak famili di rumah. Buka dan sahur bersama. Ada yang
berbeda setiap aku pulang ke rumah setelah satu tahun tidak berjumpa. Oleh-oleh
berupa kurma yang aku peroleh dari pesangon pesantren, dodol garut dan
mochi kasuari menjadi pelengkap berbuka yang di dua puluh hari pertama puasa
tidak ada. Maklum, dari sepuluh bersaudara akulah yang paling jauh di
perantauan, paling jarang bertatap muka dan tentunya paling jarang bertukar
kabar.
Wah, sekarang kamu jadi makin hitam saja
Wah, agak gemukan ya sekarang
Makin tinggi ya tinggal di pesantren
Dan kalimat-kalimat lain yang sejenis tidak
asing terdengar di telinga.
Ketika tarawih tiba, puluhan anak, remaja dan
orangtua berkumpul di musholla dekat rumah. Bersama melaksanakan shalat tarawih
berjamaah. Di sini tarawih terasa lebih hidup ketimbang di pesantren. Suara
koor Ya Rasuulallah.. dari jamaah menjawab bacaan dari sang bilal,
Allahumma shalli ‘alaa Muhammad
Terasa menggema dan membakar semangat dalam
menyelesaikan rokaat demi rokaat shalat tarawih.
Selanjutnya ibadah malam ini ditutup dengan
membaca Al Quran secara bergantian hingga larut malam.
Itulah sekelumit pengalaman dalam bulan
ramadhan. Satu bulan yang aku jalani di dua tempat yang berbeda. Bergantian.
Semoga bermanfaat
0 komentar:
Posting Komentar