Kamis, 09 Juni 2016

SATU RAMADHAN DUA PUASA

SATU RAMADHAN DUA PUASA

15 hari 20 jam 15 menit...
Pernahkah kalian merasakan suasana hidup di pesantren?
Pesantren yang mempunyai peraturan yang terbilang ketat dengan konsekuensi hukuman tegas jika ada santrinya melanggar?
Menegangkan kadang, namun juga mengasyikkan. Menimbulkan rasa kangen, padahal dalam keseharian seringkali menimbulkan rasa bosan. Suasana yang campur aduk itu sampai pada puncak kala bulan Ramadhan telah tiba. Kok bisa?
1 Ramadhan 2 Puasa


Sudah bukan rahasia umum dalam dunia pesantren, jika ramadhan tiba, itu sama saja dengan tinggal menghitung hari. Menghitung jumlah jam yang tersisa hingga derap langkah jarum panjang jam tangan. Karena sudah bisa dipastikan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan kita berada di kampung halaman. Pulang.

Jadilah hari-hari bulan Ramadhan terasa lebih panjang. Beruntung pihak pesantren memahami kegalauan yang dirasakan santri-santrinya.

Entah benar atau tidak, setiap masuk bulan ramadhan, kegiatan santri sedikit dikurangi, porsi istirahat lebih tinggi dan jatah makan pun dilebihi. Tapi kenyataan itu yang aku rasakan.
Sahur misalnya, susu jahe seakan menjadi minuman yang wajib adanya, selain menu sahur lainnya. Padahal biasanya untuk mendapatkan susu kita harus merogoh gocek terlebih dahulu. Hal yang tak pernah aku lupakan adalah ketika sebagian kecil santri dengan dandanan pendekar bertopeng sarung melakukan pawai keliling pesantren sambil menabuh alat seadanya, membangunkan santri.
Pemandangan berbeda juga tampak ketika menjelang berbuka. Semua santri diwajibkan berkumpul di depan hidangan seraya mengucapkan doa bersama dan berulang,

Asyhadu an Laa Ilaaha Illallahu wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah
Allahumma inna nas aluka ridhoka wal jannata
Wa na’udzubika min sakhathika wan naari.

Ustadzku selalu mengingatkan kalau beberapa saat sebelum adzan maghrib berkumandang adalah saat yang mustajab untuk berdoa.
Sementara buah kurma, kolak kacang hijau atau ubi sudah siap untuk disantap di samping menu utama.
Sebuah rutinitas yang amat panjang, hingga tiba saatnya pulang ke kampung halaman masing-masing. Sukabumi – Jawa. Karena pesantrenku ada di Sukabumi, sementara rata-rata santrinya berasal dari kediri, Nganjuk dan sekitarnya.
Ketika jemputan datang, akupun menutup perhitungan mundur di buku diary ku dengan angka 0 hari 0 jam 0 menit alias zero.

Lain di pesantren lain pula di kampung halamanku.
Tidak ada momen yang lebih menggembirakan melebihi berkumpulnya sanak famili di rumah. Buka dan sahur bersama. Ada yang berbeda setiap aku pulang ke rumah setelah satu tahun tidak berjumpa. Oleh-oleh berupa kurma yang aku peroleh dari pesangon pesantren, dodol garut dan mochi kasuari menjadi pelengkap berbuka yang di dua puluh hari pertama puasa tidak ada. Maklum, dari sepuluh bersaudara akulah yang paling jauh di perantauan, paling jarang bertatap muka dan tentunya paling jarang bertukar kabar.
Wah, sekarang kamu jadi makin hitam saja
Wah, agak gemukan ya sekarang
Makin tinggi ya tinggal di pesantren
Dan kalimat-kalimat lain yang sejenis tidak asing terdengar di telinga.

Ketika tarawih tiba, puluhan anak, remaja dan orangtua berkumpul di musholla dekat rumah. Bersama melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Di sini tarawih terasa lebih hidup ketimbang di pesantren. Suara koor Ya Rasuulallah.. dari jamaah menjawab bacaan dari sang bilal,
Allahumma shalli ‘alaa Muhammad
Terasa menggema dan membakar semangat dalam menyelesaikan rokaat demi rokaat shalat tarawih.
Selanjutnya ibadah malam ini ditutup dengan membaca Al Quran secara bergantian hingga larut malam.

Itulah sekelumit pengalaman dalam bulan ramadhan. Satu bulan yang aku jalani di dua tempat yang berbeda. Bergantian.

Semoga bermanfaat

0 komentar:

Posting Komentar