Minggu, 05 Juni 2016

RAMADHAN BARENG JAMAAH MASJID AL MUBASYIRIN KALI BARU, JAKARTA UTARA

RAMADHAN BARENG JAMAAH MASJID AL MUBASYIRIN
KALI BARU, JAKARTA UTARA

Hidup di lingkungan yang baru, dengan keadaan sosial masyarakat yang baru pasti memerlukan adaptasi yang tidak mudah. Apa pasal?
Aku hanyalah pemuda kampung yang jarang mengenyam hiruk pikuk suasana kota. Keseharianku hanyalah mengajar siswa di sekolah yang letaknya di lereng pegunungan Pangrango, Sukabumi. Dingin, sudah pasti. Apalagi jika bulan puasa tiba. Rasa malas seakan menjadi kawan yang setia menemani, sehingga semangat untuk mengajar, berangkat ke masjid dan mengawal kegiatan siswa seakan terasa membebani.
 
al mubasyirin kali baru, jakarta utara 2015
“Pokoknya nanti disesuaikan saja dengan jumlah tarawih selama 30 hari ke depan. Yang penting selama sebulan khatam tiga puluh juz,” begitu pesan Pak Rosyid, ketua DKM.
Sebuah pengalaman pertama yang begitu mengesankan, menjadi imam tarawih selama satu bulan.
Hampir saja, aku gagal menjadi imam tarawih saat itu karena tersesat di jalanan. Pagi itu aku pergi ke pusat kota di kawasan Kali Bata, untuk mengaktifkan nomor indosatku yang hilang. Dengan berbekal alamat dari mbah google, aku naik angkot menuju galeri indosat.

Kesalahan konyol yang membuatku harus meminta maaf saat panitia mencariku yang baru menginjakkan kaki di halaman masjid, sementara jamaah sedang menunaikan shalat maghrib. Padahal malam ini adalah malam pertama melaksanakan shalat tarawih.
Masjid Al Mubasyirin, Kali Baru, Cilincing Jakarta Utara.
Harusnya aku menghafal nama dan alamat masjid ini sebelum berangkat pagi tadi, gerutuku dalam hati.

Bosan, tidak nyaman dan ingin segera pulang. Tiga suku kata yang mewarnai hari-hariku di sini. Beruntung, hal itu tidak berlangsung lama. Seiring keakraban, silaturahmi, dan keterbukaan dengan jamaah dan panitia, membuatku semakin betah. Hari-hari yang awalnya aku rasakan begitu panjang kini terasa semakin cepat, apalagi jika menghitung hari puasa yang semakin berkurang dan berganti lebaran idul fitri. Benarlah, pepatah lawas yang bilang,
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Tidak harus menunggu kita ditegur atau disapa, karena lingkungan baru ibarat magnet yang bisa saling menjauhkan dan juga merekatkan. Jika kita mau mendekat, masyarakat akan dekat. Jika sebaliknya, masyarakat tak segan untuk mengasingkan, apalagi aku yang pendatang.

Persis di halaman masjid sebelah kiri, ada sebuah kamar berukuran empat meter persegi. Di dalamnya ada dua kasur busa untuk diriku dan kawanku, Amir. Dua buah lemari kecil dan satu kipas angin yang menempel di atap. Sementara tempat wudhu dan toilet memanjang di sebelah kanan kamar. Meski kecil kamar yang disediakan untuk imam, namun justru dari sini aku bisa melihat hal yang besar tentang aktifitas jamaah masjid Al Mubasyirin.

Masjid yang selalu ramai di saat masuk shalat lima waktu, pemandangan yang jarang aku dapati di kampungku sendiri. Terlebih di saat shalat tarawih, jalanan yang biasa dilalui kendaraan umum dan pribadi ditutup menjelang azan Isya berkumandang. Perbedaan suku dan aliran bukan menjadi penghalang persaudaraan. Ada suku Sunda, Jawa, Madura, dan Bugis yang mayoritas.
Di sini, aku bisa mengenal makanan khas bugis yang hampir setiap hari disediakan untuk jamaah sebagai takjil berbuka. Sebut saja barongko, dengan bahan dasar dari pisang yang dihaluskan. Ada juga Doko-doko Cangkuling, Dange yang kesemuanya dibungkus dengan daun pisang. Meski terasa sedikit aneh di lidah, namun tetap saja enak untuk disantap.

Satu suguhan yang tak akan pernah aku lupakan adalah saat seorang ustadz asal Madura mengundangku berbuka di rumahnya. Bukan beragam makanan yang membuatku terkenang di dalam rumahnya, tetapi cara beliau menyuguhkan makanan,
“ayo mas dipasang, ayo mas dipasang!” ucap beliau.
Aku hanya bisa bertatap pandang dengan kawanku sambil menyenginjak kakinya, menahan geli dengan kalimat “pasang” yang beliau ucapkan. Aku hanya berasumsi maksud beliau adalah dimakan, ditambah lagi atau dihabiskan.
Aku semakin kewalahan ketika banyak anak-anak yang semakin akrab. Ajakan bermain, belajar hingga mengaji bersama dari mereka sedikit mengisi waktuku yang banyak kosong. Hal itu disadari oleh orangtua salah satu dari mereka. Alhasil, hampir setiap menjelang berbuka, dua bungkus nasi padang mampir ke kamar. Tak mau mubazir, makanan yang “membludak” itu aku bagikan buat remaja masjid yang sering mengadakan di setiap selesai tarawih.

Sayang, waktu harus memisahkan aku dengan mereka. Aku yang merasa tidak nyaman di hari-hari pertama, merasa begitu sedih harus berpisah di saat lebaran idul fitri tiba. Keakraban, persaudaraan menjadikanku merasa bagian dari keluarga mereka, keluarga besar Masjid Al Mubasyirin.
Sebulan sudah tugas ini aku selesaikan. Kini tiba saatnya perpisahan. Selamat tinggal kawan. Sampai jumpa di masa mendatang. Masa yang insyaallah penuh dengan keberkahan. Ku kan merindukanmu. Hingga saat yang tak menentu.













IDENTITAS PENULIS

Nama               : Achmad Marzuqi
TTL                 : Nganjuk, 18 Februari 1987
Alamat                        : Jl. Lengkong No.02 Rt 002/001
                          Lambangkuning Kertosono Nganjuk Jawa Timur 64315
HP                   : 0857 2312 1117
Email               : syauqi.chan@gmail.com
Fb                    : Jucky Pengen Naikhaji
Pin BB                        : 24DB0072


0 komentar:

Posting Komentar