RAMADHAN BARENG JAMAAH MASJID AL
MUBASYIRIN
KALI BARU, JAKARTA UTARA
Hidup di lingkungan yang baru, dengan keadaan sosial
masyarakat yang baru pasti memerlukan adaptasi yang tidak mudah. Apa pasal?
Aku hanyalah pemuda kampung yang jarang mengenyam hiruk pikuk
suasana kota. Keseharianku hanyalah mengajar siswa di sekolah yang letaknya di
lereng pegunungan Pangrango, Sukabumi. Dingin, sudah pasti. Apalagi jika bulan
puasa tiba. Rasa malas seakan menjadi kawan yang setia menemani, sehingga
semangat untuk mengajar, berangkat ke masjid dan mengawal kegiatan siswa seakan
terasa membebani.
“Pokoknya nanti disesuaikan saja dengan jumlah tarawih selama
30 hari ke depan. Yang penting selama sebulan khatam tiga puluh juz,” begitu
pesan Pak Rosyid, ketua DKM.
Sebuah pengalaman pertama yang begitu mengesankan, menjadi
imam tarawih selama satu bulan.
Hampir saja, aku gagal menjadi imam tarawih saat itu karena
tersesat di jalanan. Pagi itu aku pergi ke pusat kota di kawasan Kali Bata,
untuk mengaktifkan nomor indosatku yang hilang. Dengan berbekal alamat dari mbah
google, aku naik angkot menuju galeri indosat.
Kesalahan konyol yang membuatku harus meminta maaf saat
panitia mencariku yang baru menginjakkan kaki di halaman masjid, sementara
jamaah sedang menunaikan shalat maghrib. Padahal malam ini adalah malam pertama
melaksanakan shalat tarawih.
Masjid Al Mubasyirin, Kali Baru, Cilincing Jakarta Utara.
Harusnya aku menghafal nama dan alamat masjid ini sebelum
berangkat pagi tadi, gerutuku dalam hati.
Bosan, tidak nyaman dan ingin segera pulang. Tiga suku kata
yang mewarnai hari-hariku di sini. Beruntung, hal itu tidak berlangsung lama.
Seiring keakraban, silaturahmi, dan keterbukaan dengan jamaah dan panitia,
membuatku semakin betah. Hari-hari yang awalnya aku rasakan begitu panjang kini
terasa semakin cepat, apalagi jika menghitung hari puasa yang semakin berkurang
dan berganti lebaran idul fitri. Benarlah, pepatah lawas yang bilang,
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Tidak harus menunggu kita ditegur atau disapa, karena
lingkungan baru ibarat magnet yang bisa saling menjauhkan dan juga merekatkan. Jika
kita mau mendekat, masyarakat akan dekat. Jika sebaliknya, masyarakat tak segan
untuk mengasingkan, apalagi aku yang pendatang.
Persis di halaman masjid sebelah kiri, ada sebuah kamar
berukuran empat meter persegi. Di dalamnya ada dua kasur busa untuk diriku dan
kawanku, Amir. Dua buah lemari kecil dan satu kipas angin yang menempel di
atap. Sementara tempat wudhu dan toilet memanjang di sebelah kanan kamar. Meski
kecil kamar yang disediakan untuk imam, namun justru dari sini aku bisa melihat
hal yang besar tentang aktifitas jamaah masjid Al Mubasyirin.
Masjid yang selalu ramai di saat masuk shalat lima waktu,
pemandangan yang jarang aku dapati di kampungku sendiri. Terlebih di saat
shalat tarawih, jalanan yang biasa dilalui kendaraan umum dan pribadi ditutup
menjelang azan Isya berkumandang. Perbedaan suku dan aliran bukan menjadi
penghalang persaudaraan. Ada suku Sunda, Jawa, Madura, dan Bugis yang mayoritas.
Di sini, aku bisa mengenal makanan khas bugis yang hampir
setiap hari disediakan untuk jamaah sebagai takjil berbuka. Sebut saja barongko,
dengan bahan dasar dari pisang yang dihaluskan. Ada juga Doko-doko
Cangkuling, Dange yang kesemuanya dibungkus dengan daun pisang. Meski
terasa sedikit aneh di lidah, namun tetap saja enak untuk disantap.
Satu suguhan yang tak akan pernah aku lupakan adalah saat
seorang ustadz asal Madura mengundangku berbuka di rumahnya. Bukan beragam
makanan yang membuatku terkenang di dalam rumahnya, tetapi cara beliau
menyuguhkan makanan,
“ayo mas dipasang, ayo mas dipasang!” ucap beliau.
Aku hanya bisa bertatap pandang dengan kawanku sambil
menyenginjak kakinya, menahan geli dengan kalimat “pasang” yang beliau ucapkan.
Aku hanya berasumsi maksud beliau adalah dimakan, ditambah lagi atau
dihabiskan.
Aku semakin kewalahan ketika banyak anak-anak yang semakin
akrab. Ajakan bermain, belajar hingga mengaji bersama dari mereka sedikit
mengisi waktuku yang banyak kosong. Hal itu disadari oleh orangtua salah satu
dari mereka. Alhasil, hampir setiap menjelang berbuka, dua bungkus nasi padang
mampir ke kamar. Tak mau mubazir, makanan yang “membludak” itu aku bagikan buat
remaja masjid yang sering mengadakan di setiap selesai tarawih.
Sayang, waktu harus memisahkan aku dengan mereka. Aku yang
merasa tidak nyaman di hari-hari pertama, merasa begitu sedih harus berpisah di
saat lebaran idul fitri tiba. Keakraban, persaudaraan menjadikanku merasa
bagian dari keluarga mereka, keluarga besar Masjid Al Mubasyirin.
Sebulan
sudah tugas ini aku selesaikan. Kini tiba saatnya perpisahan. Selamat tinggal
kawan. Sampai jumpa di masa mendatang. Masa yang insyaallah penuh dengan
keberkahan. Ku kan merindukanmu. Hingga saat yang tak menentu.
IDENTITAS PENULIS
Nama :
Achmad Marzuqi
TTL :
Nganjuk, 18 Februari 1987
Alamat :
Jl. Lengkong No.02 Rt 002/001
Lambangkuning Kertosono Nganjuk Jawa Timur
64315
HP :
0857 2312 1117
Email :
syauqi.chan@gmail.com
Fb :
Jucky Pengen Naikhaji
Pin BB :
24DB0072
0 komentar:
Posting Komentar